Peluang dan tantangan digital marketing era 4.0 dilampung
Nama : Meilia Nur Kasanah
NIM : 20101011167
Kelas : Manajemen A4
Mata Kuliah : Digital Marketing
Dosen Pengampu : Andi Tri Haryono, S.E., M.M.
Peluanng dan Tantangan Digital Marketing Ekonomi Era 4.0 di Lampung
Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang mengkolaborasikan teknologi siber dan teknologi otomatisasi. Revolusi Industri 4.0 dikenal juga dengan istilah “cyber physical system”. Konsep penerapannya berpusat pada otomatisasi. Dibantu teknologi informasi dalam proses pengaplikasiannya, keterlibatan tenaga manusia dalam prosesnya dapat berkurang. Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi pada suatu lingkungan kerja dengan sendirinya bertambah. Dalam dunia industri, hal ini berdampak signifikan pada kualitas kerja dan biaya produksi. Namun sesungguhnya, tidak hanya industri, seluruh lapisan masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat umum dari sistem ini.
Dalam Revolusi Industri 4.0, setidaknya ada lima teknologi yang menjadi pilar utama dalam mengembangkan sebuah industri siap digital, yaitu: Internet of Things, Big Data, Artificial Intelligence, Cloud Computing dan Additive Manufacturing.
Peran teknologi di era revolusi industri 4.0 mengambil alih hampir sebagian besar aktivitas perekonomian. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, tren ini telah mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk dunia kerja dan bahkan gaya hidup manusia itu sendiri. Pada dasarnya, revolusi industri 4.0 menggabungkan mesin, alur kerja dan sistem dengan penerapan jaringan cerdas di sepanjang prosesnya. Revolusi industri 4.0 mampu melenyapkan sejumlah jenis pekerjaan, namun di sisi lain juga menghadirkan jenis pekerjaan baru.
Merespon kondisi ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) menggelar kajian keilmuan secara daring bertajuk “Revolusi Industri 4.0: Telat Melangkah Rentan Tertindas” pada jum’at (24/7) dengan menghadirkan narasumber Dosen Fakultas Bisnis Ekonomika Universitas Islam Indonesia Jaya Addin Linando, S.E., MBA.
Mengutip dari Klaus Scwhab, Jaya Addin memulai penjelasannya, bahwa era revolusi industri 4.0 ini merupakan suatu keadaan yang memberikan promise (janji) yang sangat besar yang dibersamai dengan peril (ancaman) yang sangat besar juga. “Jadi jika kita tidak bisa mengikuti kemajuan teknologi di era ini, kita akan terlindas. Ini adalah semacam pisau bermata dua, kalau kita bisa memanfaatkan dengan baik, tentu kita bisa mengambil keuntungan, kalau tidak ya akan tertinggal,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan penanda dari revolusi 4.0 itu sendiri adalah smart technology, yang mana mampu menghubungkan teknologi satu dengan yang lainnya. Kecanggihan ini menciptakan karakteristik tersendiri yaitu ‘Big Data’ (Mahadata) yang mampu digunakan oleh manusia yang tersimpan dan dapat dimanfaatkan. “Kita menggunakan zoom hari ini, pertemuan ini akan tersimpan dalam sebuah data, sehingga data ini berharga dan dibagikan sehingga bermanfaat,” ungkapnya.
Dilansir dari Boston Consulting Group (BCG), Jaya Addan menyebutkan empat area yang terpengaruhi oleh revolusi industri 4.0. Pertama adalah produktivitas, di era ini prosuden semakin gencar meningkatkan produktivitasnya demi mencukupi kebutuhan konsumen, terlebih lagi dukungan kemajuan teknologi yang mempermudah proses produktivitas. Kedua, Revenue Growth (pertumbuhan pendapatan) dengan peningkatan produktivitas yang tajam, pastinya jumlah pendapatan akan meningkat pula.
Yang ketiga Employment (pekerjaan) dapat diartikan juga meningkatnya ketersediaan lapangan pekerjaan. “Hal ini cukup mengejutkan, banyak orang membuat kajian tentang banyaknya peran manusia yang digantikan oleh mesin, jangan-jangan nanti kita akan kehilangan pekerjaan? Akan tetapi, menurut Boston Consulting Group (BCG) sesuai dengan case di Jerman simulasikan diperkirakan akan naik sampai dengan 6 persen selama sepuluh tahun kedepan, dengan syarat skill yang perlukan akan berbeda seiring kemajuan teknologi,” jelasnya.
Keempat, invesment (penanaman modal) yang semakin naik, hal ini dipengaruhi oleh naikknya tiga aspek sebelumnya. Dengan melakukan investasi seseorang mampu mengembangkan perusahaan dan mengembangkan industri sehingga menyebabkan market volatility yang sangat besar. “Jadi pasar ini akan bergejolak, meriah, ini adalah impact yang terjadi mengikuti revolusi industry 4.0,” imbuhnya.
Berikutnya, Jaya Addin mengungkapkan tentang kesiapan Indonesia dalam menghadapi revolusi industry 4.0. Menurut Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI), nilai rata-rata self-assesment INDI 4.0 industri nasional adalah 2,14 persen. Menyikapi hal ini Kementrian Perindustrian Republik Indonesia membuat rancangan berupa 10 Prioritas Nasional Kemenperin dalam menyukseskan Revolusi Industri 4.0.
“Namun pertanyaan yang mendasar adalah Indonesia dibagian mana? Karena masih adanya wilayah yang tertinggal dengan berbagai keterbatasan, seperti belum teraliri listrik dan belum tersentuh internet,” ujarnya.
Terakhir, Jaya Addin menyampaikan bahwa dalam menyukseskan Indonesia 4.0 tidak serta merta berupa ketersediaan akses internet dan kepekaan terhadap sosial media. Diperlukan kesiapan dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, harmonisasi aturan dan lain sebagainya. Tak hanya itu, dukungan dari semua pihak juga perlu, baik pemerintah, pelaku industri dan SDM harus aktif berinovasi dan menjalankan peran masing-masing semaksimal mungkin demi terciptanya sinergi yang baik untuk mendukung kemajuan sektor industri tanah air. (HA/RS)
Di era tahun 1980-an, ketika internet pertama kali ditemukan dan jaringan nirkabel hanya memiliki kecepatan akses yang sangat terbatas (1G setara dengan 2.4 kb/second). Namun, hanya dalam beberapa dekade berikutnya, perubahan signifikan terjadi dimana saat ini, kita bisa menikmati kecepatan 5G yang setara dengan 1 gb/s. Perubahan signifikan ini memberikan dampak besar terhadap pola masyarakat yang semakin tanggap terhadap teknologi dan memanfaatkan akses jaringan nirkabel untuk melakukan berbagai aktivitas terutama di bidang ekonomi. Selain itu, menjamurnya start-up dan platform digital semakin menguatkan proses transformasi ke arah ekonomi digital. Transformasi digital ini akan berpengaruh terhadap inovasi, akselerasi, efisiensi dan produktivitas masyarakat yang semakin beragam.
Big Data sebagai Aset Baru
Transformasi ekonomi dari ekonomi konvensional menjadi ekonomi digital merupakan kebijakan dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia, melalui penerapan Revolusi industri 4.0, pengembangan sektor keuangan melalui teknologi finansial (Fintech) dan memperluas perdagangan berbasis digital (e-coomerce). Di sisi lain untuk meningkatkan efesiansi dalam transaksi keuangan masyarakat didorong untuk menggunakan transaksi e-money agar terjadi sistem transaksi pembayaran tanpa uang kertas atau cashless payment.
Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan gerakan Making Indonesia 4.0. Gerakan ini sejalan dengan era digitalisasi yang memfasilitasi pengintegrasian informasi untuk tujuan peningkatan produktivitas, efisiensi dan kualitas layanan. Pemanfaatan ekonomi digital ini memiliki potensi yang besar dikarenakan potensi Indonesia baik secara modal manusia dan infrastruktur yang mendukung perluasan akses ekonomi digital secara inklusif.
Dalam perkembangan ekonomi digital semua aktivifitas dan transaksi yang menggunakan berbagai platform internet akan tercatat dan terkoleksi sebagai himpunan data dalam jumlah yang sangat besar rumit dan tak berstruktur (big data). Big data merupakan aset baru yang harus dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai dasar merencanakan pengembangan inovasi produk dan inovasi distribusi serta kebijakan pemerintah di masa depan. Penguasaan big data dan kemampuan menganalisa big data haruslah dianggap sebagai sebuah aset yang menjadi modal untuk mengefisienkan proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Kemampuan memiliki dan memanfaatkan big data menjadi prioritas di era digitalisasi.
Program Smart Village Provinsi Lampung
Daerah pun tidak mau kalah dalam mengadopsi berbagai macam bentuk transformasi teknologi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerahnya. Berbagai macam terobosan, mulai dari pelayanan satu pintu, akses keterbukaan data melalui laman daring hingga kemudahan pelayanan masyarakat berbasis digital. Sejalan dengan transformasi tersebut, daerah membangun banyak infrastruktur pendukung guna meluaskan jaringan hingga pelosok-plosok pedesaan, agar masyarakat dapat menikmati teknologi yang modern.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung juga menggiatkan peningkatan transformasi digital melalui program “Smart Village” yang merupakan perwujudan dari visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Lampung Berjaya. Program ini merupakan sebuah terobosan baru dalam era keterbukaan data yang dapat diakses publik guna meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah.
Dengan hadirnya program “Smart Village”, Pemerintah Provinsi Lampung dapat meningkatkan produktifitas usaha-usaha kreatif di pedesaan, meningkatkan nilai tambah, membuka jaringan pemasaran global bagi UMKM serta bagi Pemerintah Desa dapat memberikan pelayanan instan yang optimal bagi warga berbasiskan pelayanan digital. Selain itu Pemerintah dapat memilih alternatif kebijakan terbaik yang didasari analisa big data (evidence-based policy) yang terintegrasi antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi. Hal ini menjadi salah satu contoh bagaimana transformasi teknologi dapat menjangkau ranah kebijakan publik dan turut mengikutsertakan masyarakat sebagai pihak yang secara aktif dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan berbasis bukti.
Program Cashless Society
Inovasi teknologi yang berkembang cukup pesat pada berbagai aspek mulai dari kebijakan publik hingga ekonomi juga turut mendukung Bank Indonesia dalam melakukan inovasi, salah satunya mengenai sistem pembayaran. Bank Indonesia pada Agustus 2019 telah meluncurkan QRIS (QR Code Indonesia Standard). QRIS sendiri merupakan sebuah kemudahan dalam bertransaksi dengan memindai barcode pada merchant terdaftar untuk melakukan pembayaran secara mudah dan cepat. Sejalan dengan visi sistem pembayaran Indonesia 2025, dimana salah satu poinnya adalah mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital nasional melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital yang mampu mendukung masyarakat non-tunai (cashless society).
Teknologi QRIS ini hadir dengan mengedepankan aspek efisiensi dan kepraktisan dalam bertransaksi tanpa uang tunai. Semua inovasi yang dilakukan hadir untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk bertransaksi dengan aman dan mudah serta mengurangi resiko kerugian akibat biaya administrasi, pencurian maupun penularan virus Covid-19 karena semua transaksi dilakukan dengan online serta pembayaran dilakukan dengan hanya melakukan scan barcode pada merchant-merchant terpilih sehingga menghindari kontak fisik. Berbagai inovasi yang telah dilakukan memberikan sebuah peluang dalam mengimplementasikan masyarakat 5.0 guna mendukung revolusi industri 4.0.
Tantangan yang dihadapi
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, hampir semua sektor mengalami kelesuan terutama sektor industri mikro, kecil dan menengah seperti akomodasi, penyediaan makan minum dan jasa pariwisata. Banyaknya usaha yang tutup dan mengurangi pegawai sebagai imbas dari kelesuan ekonomi turut berdampak besar terhadap tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Namun, dibalik hal itu semua, kondisi ini banyak menjadi momentum UMKM untuk naik kelas dengan memanfaatkan teknologi dalam memasarkan produk, jasa pengantaran barang/jasa, hingga akses perluasan pasar kepada generasi muda atau biasa disebut millennial. Hal ini didasari oleh semakin cepatnya proses transformasi teknologi yang berkembang saat ini.
Provinsi Lampung sebagai pintu gerbang pulau Sumatera menjadi sebuah daerah yang memiliki potensi ekonomi dan pariwisata yang luar biasa. Dengan ditopang oleh industri jasa dan pariwisata, Provinsi Lampung terus berusaha melebarkan akses jaringan informasi dan teknologi yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat Lampung.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam era digitalisasi cukup besar. Tantangan pertama adalah masih cukup banyak daerah yang belum terjangkau sinyal (blind-spot) sehingga akses jaringan belum banyak dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan infrastruktur yang belum memadai, sulitnya akses untuk pembangunan serta populasi yang masih sedikit di daerah tersebut sehingga valuasi ekonomi rendah.
Tantangan berikutnya adalah kecepatan atau bandwidth internet rata-rata di Indonesia masih rendah. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Thailand, kecepatan internet di Indonesia rata-rata hanya sebesar 17,26 Mbps, bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 33,9 Mbps dan Thailand sebesar 47,35 Mbps (Ookla Speedtest Global Index, 2018).
Tantangan lain adalah literasi digital masyarakat yang cenderung masih rendah sehingga pemanfaatan teknologi masih sebatas sosial media maupun hiburan saja.. Masyarakat perlu diedukasi tentang bpengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan peralatan digital (terutama smartphone), untuk membantu mereka menganalisa pasar, memasarkan hasil produksi serta memanfaatkan data seabagai rencana mengembangkan bisnisnya.
Pemerintah harus hadir dalam mengatasi permasalahan diatas agar pengoptimalan ekonomi digital dapat optimal dan dirasakan oleh masyarakat. Peran serta pemerintah ini juga dapat diwujudkan dengan inovasi-inovasi terbaru yang berkaitan dengan kemudahan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Masih banyak transaksi-transaksi di masyarakat di Provinsi Lampung yang seharusnya sudah berdasarkan platform digital, seperti transakasi parkir, pengisian bahan bakar minyak di SPBU, juga pembayaran pajak kendaraan bermotor. Juga perlu disiapkan sarana dan prasarana sistem pembayaran digital di pasar-pasar tradisional. Inovasi ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat baik dalam efisiensi transaksi di masyarakat.
Komentar
Posting Komentar